• Blog
  • Tentang Saya
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
Hak Cipta © 2025 | diarhafsari.com oleh Diar Adhihafsari. Diberdayakan oleh Blogger.
instagram spotify pinterest

diarhafsari

Membaca, menulis, dan menikmati cita rasa

MENURUT DATA TERKINI, 77% pengguna internet masih membaca blog secara rutin (via Matt Giaro, 2025). Baik bagi blogger yang blogging sebagai hobi maupun bagi blogger yang blogging sebagai wujud bisnis atau sebagai pekerjaan, data tersebut penting untuk diketahui.

Lukisan "In Gedanken"
Gambar: “In Gedanken”, 1850 (Düsseldorfer Auktionshaus), Wikimedia Commons via Picryl

Tak hanya untuk sekadar diketahui, namun juga untuk kemudian ditindaklanjuti dalam aktivitas blogging dan perencanaan kontennya. Karena, menurut Matt Giaro dalam artikel blognya, “Is Blogging Still Profitable in 2025? (Honest Truth)”, internet dibanjiri oleh blog yang kontennya cenderung umum atau generik dan bahkan medioker, yang tidak memenuhi kebutuhan pembaca atau audiens yang spesifik.

Menurut Web Tribunal (via Salt in Our Hair), ada lebih dari 600 juta blog di dunia maya. Meski video dan konten pendek semakin diminati, orang-orang masih mencari informasi melalui membaca, termasuk lewat blog.

Melihat kenyataan itu, penting untuk selalu mengevaluasi seluk-beluk blogging yang kita lakukan. Misalnya dengan selalu mengevaluasi “value” tulisan yang kita posting di blog kita.

Tak berhenti sampai di evaluasi konten. Jangan lupakan hal penting lainnya, ‘sesederhana’ selalu mengevaluasi komitmen kita dalam blogging.

4 Kesalahan Terbesar Saya dalam Blogging

Lukisan “Young Girl Writing a Love Letter” (Pietro Antonio Rotari)
Gambar: “Young Girl Writing a Love Letter” (Pietro Antonio Rotari, 1800, Norton Simon Museum), Wikimedia Commons via Picryl

Ya, tentu perlu komitmen (yang besar!) dalam blogging. Karena, setelah sekian kali on dan off blogging sejak 2006, saya menyadari ada setidaknya empat kesalahan terbesar dalam blogging yang saya lakukan terhadap beberapa blog saya dahulu:

1. Saya tidak sungguh-sungguh berkomitmen untuk menseriusi blog yang domain-nya sudah mahal-mahal saya beli.

Layaknya menjalani hal lain dalam hidup, memiliki dan menulis blog pun butuh komitmen. Apalagi di zaman sekarang harga domain saja sudah semakin mahal (mahal bagi saya yang tidak berpenghasilan sendiri).

Berani beli domain yang harganya mahal dan berani bikin blog yang bisa dibaca untuk umum, berarti berani berkomitmen untuk serius menjalankan blog tersebut. Serius mau bersusah-payah memulai kembali dari nol. Serius mau capek-capek “one-woman show” mengurus segala elemen blog tersebut.

2. Saya tidak terlalu serius memetakan tujuan dan strategi dalam membuat dan mengelola blog saya.

Sayangnya, berkali-kali membuat blog sendiri, berkali-kali juga saya tidak terlalu serius dalam memetakan tujuan blog saya itu — kenapa saya mau membuat blog, dan mau dibawa ke mana blog tersebut di jangka pendek maupun jangka panjang.

Seringnya, sesuai pengalaman yang sudah-sudah, saya sekadar “go with the flow” dalam menjalankan blog saya. Menjadi fleksibel memang perlu, tapi perencanaan yang matang pun sangat penting, termasuk dalam urusan manajemen blog. Di tengah kompetisi dengan lebih dari 600 juta blog di jagat raya internet (MasterBlogging, 2024), strategi tentu dibutuhkan.

3. Saya tidak konsisten dalam menulis untuk blog saya.

Saya memahami belakangan, “showing up” — apalagi untuk karya milik sendiri — itu penting untuk menjaga motivasi diri dan menjaga konsistensi berkarya. Untuk zaman sekarang, juga penting untuk menjaga loyalitas pengunjung dan pembaca blog kita. Dan, padahal, konsistensi dalam blogging itu bukan berarti harus menulis dan mempublikasikan postingan setiap hari juga.

Satu kali setiap pekan juga namanya konsisten. Satu kali setiap bulan juga namanya konsisten. Dalam hal ini, isu konsistensi menulis harus menyesuaikan dengan kemampuan diri serta dipadankan dengan dua poin sebelumnya, yaitu komitmen serta tujuan dan strategi dalam manajemen blog.

4. Saya kurang bersabar dalam menjalankan blog saya.

Di tengah ‘hutan rimba’ website dan blog, saya sering mengabaikan fakta bahwa saya bukan satu-satunya blogger yang ingin blognya ‘tiba-tiba’ ditemukan oleh audiens yang tepat, yang ingin blognya dikenal dan diakui relevansinya dengan kebutuhan pembaca, atau yang ingin blognya menghasilkan cuan.

Sama saja seperti menjalani hidup, menjalankan blog — yang bagi sebagian orang mungkin bukan suatu hal yang terlihat “tangible” — pun butuh proses dari anak tangga paling bawah, dan yang jelas butuh waktu serta kesabaran.

Dosis sabar itu yang masih harus saya tambah dan kemudian pertahankan dalam diri saya, khususnya dalam urusan blogging. Saya harus selalu mengingatkan diri saya untuk menikmati dan menghayati proses yang saya jalani.

Kesimpulan

Setelah sekian kali mengevaluasi aktivitas blogging saya sejak lama, saya menemukan sedikitnya empat kesalahan besar dalam blogging:

  1. Saya tidak sungguh-sungguh berkomitmen untuk menseriusi blog yang domain-nya sudah mahal-mahal saya beli.
  2. Saya tidak terlalu serius memetakan tujuan dan strategi dalam membuat dan mengelola blog saya.
  3. Saya tidak konsisten dalam menulis untuk blog saya.
  4. Saya kurang bersabar dalam menjalankan blog saya.

Melihat dan menyadari empat kesalahan terbesar saya dalam blogging, tentunya saya harus mewujudkan empat “antidot” dari kesalahan-kesalahan saya tersebut:

  1. Kuatkan komitmen bahwa saya benar-benar serius mau blogging, serius mau menjadi seorang blogger, dan serius mau mengisi blog saya dengan tulisan yang memiliki value.
  2. Buat peta tujuan dari saya beraktivitas blogging dan tujuan dari blog saya, serta buat peta strategi dalam manajemen blog saya.
  3. Konsisten untuk “show up” dalam menulis untuk blog saya. Nggak apa-apa pelan-pelan, bertahap dari “showing up” untuk membuat rencana judul tulisan, kemudian kerangka tulisan, kemudian riset referensi, kemudian menulis draf, dan kemudian menyunting tulisan. It’s okay, I can do it.
  4. Sabar, sabar, sabar. Semua bentuk ‘perjalanan’ ada prosesnya. Sabar. Menulis apa pun tidak betul-betul mudah. Sabar. Mendapatkan pembaca atau audiens, apalagi yang tepat, memang perlu waktu. Sabar. Sekali lagi, sabar, sabar, sabar.

Bagaimana dengan kamu? Kesalahan terbesar apa yang akhirnya kamu sadari dalam blogging? Dan seperti apa “antidot” yang kamu lakukan? Cerita di kolom komentar, ya!

Referensi

“Is Blogging Still Profitable in 2025? (Honest Truth)” (Matt Giaro)

“Is Blogging Still Relevant in 2025”? (SaltinOurHair.com)

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

DAFTAR ISI:

  • Wajah Kesusastraan Asia Tenggara
  • Novel Soy Sauce for Beginners karya Kirstin Chen dari Singapura
  • Novel Touching Earth karya Rani Manicka dari Malaysia
  • Novel Miss Burma karya Charmaine Craig, Keturunan Myanmar
  • Kesimpulan

Wajah Kesusastraan Asia Tenggara

3 Novel Karya Penulis Perempuan Asal Asia Tenggara
Gambar: Peta lama India dan Asia Tenggara "Cambaia", peta miniatur oleh Abraham Ortelius, 1583, dengan pewarnaan modern menggunakan tangan, Wikimedia Commons via Picryl (peta public domain)

Dalam Ensiklopedia Britannica, negara-negara yang termasuk ke dalam wilayah Asia Tenggara adalah Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Filipina.

Buku-buku karya penulis asal Asia Tenggara hampir tidak saya ketahui apa saja dan siapa saja penulisnya. Jujur, jauh lebih mudah untuk mencari tahu soal buku dan penulis asal Asia Timur yang jauh daripada Asia Tenggara yang dekat.

Bahkan, meski sejak 2010 rutin diselenggarakan Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT) setiap tahunnya dari kolaborasi Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), masih banyak karya sastra asal Asia Tenggara yang belum kita kenal.

Kata Hilmar Farid, semasa menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan dalam Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Asia Tenggara memiliki tradisi sastra lisan (Republika, 2017). Mungkinkah itu yang membuat kita tidak tahu banyak perihal kesusastraan tertulis Asia Tenggara?

Argumentasi Gladhys Elliona Syahutari dalam gelaran diskusi SEA CHAT #22 berjudul “Regional Literature Between SEA and Latin America, What Makes the Differences?”, mungkin menjadi salah satu latar mengapa kita tak tahu banyak perihal kesusastraan Asia Tenggara.

Gladhys mengatakan bahwa sastrawan Asia Tenggara cenderung menerjemahkan karyanya ke bahasa Inggris, baru kemudian diedarkan ke kawasan Asia Tenggara, namun itu pun permintaannya tidak banyak.

Sumber informasi paling dekat seputar buku-buku karya penulis asal Asia Tenggara yang saat ini menjadi referensi saya baru Penguin Books SEA saja. Penerbit buku terkenal tersebut menghadirkan karya-karya lokal Asia Tenggara semenjak dirilis pada Oktober 2018.

Atau sumber lainnya: perpustakaan digital Internet Archive. Tiga novel karya penulis asal atau keturunan Asia Tenggara di bawah ini juga saya temukan dan pinjam dari perpustakaan digital tersebut.

Mari kita bahas satu per satu.

Novel Soy Sauce for Beginners karya Kirstin Chen dari Singapura

3 Novel Karya Penulis Perempuan Asal Asia Tenggara

Kirstin Chen ialah seorang penulis asal Singapura yang kini tinggal di Amerika Serikat. Soy Sauce for Beginners yang terbit tahun 2014 merupakan novel perdananya.

Novel ini mengisahkan Gretchen, perempuan 30 tahun yang pernikahannya berada di ujung tanduk dengan suaminya yang seorang warga Amerika Serikat. Tak hanya itu, di usianya yang sudah cukup matang, Gretchen juga belum tahu pasti ingin melakukan apa dalam hidupnya.

Berusaha menjauh untuk sementara waktu dari suaminya yang berselingkuh dengan perempuan lain, Gretchen pulang ke kampung halamannya di Singapura setelah sebelumnya mengambil cuti dari kuliah musiknya di San Fransisco.

Selama berada di Singapura, Gretchen memanfaatkan waktu luangnya untuk magang di perusahaan kecap milik keluarganya, Lin’s, walau sebenarnya dia tidak merasa tertarik. Perusahaan yang didirikan dari nol oleh mendiang kakeknya itu terkenal dengan kecap premium yang diproduksi dengan cara alami, jadul, dan dengan proses perlahan.

Sambil menghadapi dinamika perusahaan (kecap premium alami versus kecap modern sintetis; sepupunya yang ingin melakukan perubahan besar dalam perusahaan Lin’s), Gretchen juga harus menghadapi dinamika keluarga intinya (ayahnya yang mendesak Gretchen untuk mengambil peran signifikan di dalam Lin’s; ibunya yang mengalami masalah ketergantungan minuman beralkohol) maupun keluarga besarnya (pamannya yang ingin sepupu Gretchen kembali ke Lin’s meskin sebelumnya kabur karena kesalahannya sendiri; sepupunya yang tidak bisa menerima keterlibatan Gretchen dalam perusahaan Lin’s).

Masih ada juga dinamika pertemanan yang harus dihadapinya (temannya asal San Fransisco yang bekerja di Lin’s dan melesat maju sekaligus juga berubah cukup drastis, termasuk kini berteman dengan teman-teman lama Gretchen), serta dinamika kisah cintanya (keputusan untuk kembali atau tidak bersama suaminya; kemunculan pria baru yang menarik asal Jakarta yang sikapnya membuat Gretchen bingung).

Meski alur cerita novel sepanjang 257 halaman ini ditulis dengan lancar, saya merasa konflik-konflik di dalam Soy Sauce for Beginners terasa kurang greget. Terlepas dari itu, novel tersebut memberikan banyak insight konteks lokal seputar kehidupan di Singapura dan kehidupan keluarga keturunan Tionghoa.

"Because Chinese families believe all problems can be solved over food.”

Novel Touching Earth karya Rani Manicka dari Malaysia

3 Novel Karya Penulis Perempuan Asal Asia Tenggara

Novel ini diterbitkan pada tahun 2004, namun saya membaca versi terbitan 2005. Menceritakan dua tokoh utama yang merupakan gadis muda kembar asal Bali, Nutan dan Zeenat.

Di rumah mereka di Bali, mereka harus berhadapan dengan keruwetan kisah cinta segi tiga antara ibu, ayah, dan nenek mereka. Hingga kemudian ketika secara mengejutkan ayah mereka yang dingin mengirim mereka berlibur ke London, mereka menerimanya.

Namun di London, kehidupan lama mereka yang biasanya dipenuhi tradisi, kedamaian, dan slow living, harus terkorupsi akibat pergaulan bebas dan narkoba.

Begitu latar cerita berpindah ke London, Nutan dan Zeenat tak lagi menjadi satu-satunya tokoh utama cerita. Ada juga beberapa tokoh utama lain, yang narasi kisah mereka ditulis dengan point of view masing-masing, yang kehidupannya bersinggungan dengan kehidupan si Kembar, mulai dari pria Italia pemilik rumah makan yang sekaligus penipu dan penyedia narkoba untuk tokoh-tokoh dalam cerita ini; perempuan asal Irlandia yang merupakan simpanan seorang pria Arab; pelukis keturunan India asal Kenya; penata rambut asal Inggris, dan sebagainya.

Novel ini berisi begitu banyak penggambaran penggunaan narkoba dan efek sampingnya, hingga membacanya lumayan membuat stres. Ditambah lagi, meski sebagian besar tokoh yang diceritakan mengubah kembali jalan hidup mereka di bagian akhir, namun dua tokoh utama Nutan dan Zeenat tidak mengalami perubahan karakter secara signifikan.

Mungkin buku ini cocok dibaca oleh pembaca usia muda yang masih rentan terkena peer pressure dan mereka bisa belajar dari kisah para tokoh di dalamnya.

“It is not possible to have everything in life, is it?”

Novel Miss Burma karya Charmaine Craig, Keturunan Myanmar

3 Novel Karya Penulis Perempuan Asal Asia Tenggara

Meski berkewarganegaraan Amerika Serikat, Charmaine Craig mendapat garis keturunan asal Myanmar (Burma).

Novel fiksi historis ini ditulis, terinspirasi dari kisah ibunya, Louisa, yang dahulu menjadi Miss Burma pertama yang menjadi kontestan Miss Universe.

Namun cerita di dalam novel Miss Burma berpusat pada orang tua Louisa, Benny yang seorang Yahudi asal Inggris dan Khin, seorang gadis Karen yang merupakan etnis minoritas yang mengalami penindasan di Myanmar.

Kisah Benny dan Khin berlatar Perang Dunia II dan perang saudara Myanmar. Kehidupan mereka penuh kesenggangan perbedaan bahasa, konflik seputar identitas etnis, juga konflik perselingkuhan yang kompleks.

Bagi saya, novel 359 halaman ini terasa challenging untuk dibaca, hingga bahkan saya menyerah untuk menyelesaikan membacanya.

Namun, dengan membaca novel tersebut, saya mendapat pengetahuan baru seputar sejarah kelam Myanmar yang sebelumnya tidak pernah saya ketahui sama sekali.

"There is a reason that we are characteristically afraid. Our tendency to be shy, to be modest, to avoid confrontation, to be cautious—all of this comes from our long history of being intimidated. And the Brits, well they made use of that history.”

Kesimpulan

Membaca tiga novel karya penulis asal atau keturunan Asia Tenggara mampu memberikan sedikit insight seputar Asia Tenggara, wilayah tempat negara saya tinggal yang bahkan tidak terlalu saya kenal (dan masih menjadi bahan riset panjang yang mungkin tidak akan pernah selesai).

REFERENSI:

“Sastra Mampu Pererat Hubungan Negara di Asia Tenggara” (Red: Esthi Maharani, Rep: Umi Nur Fadhilah), Republika.co.id, 7 Agustus 2017

“SEA CHAT #22: Sastra Asia Tenggara dan Amerika Latin”, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gajah Mada, 2 Maret 2020

LINK PEMBELIAN BUKU FISIK (link afiliasi):

Novel Touching Earth (Rani Manicka)

Novel Miss Burma (Charmaine Craig)

BACA JUGA:

3 Novel Karya Penulis Perempuan Asal Asia Timur

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

PERTAMA-TAMA, saya tidak menemukan referensi mengenai penulisan yang tepat untuk nama kue yang saya sebutkan di judul postingan ini. Apakah dengan satu huruf t atau dengan dua huruf t?

Hasil pencarian di Google sewaktu saya menuliskan botterkoek: "Mungkin maksud Anda adalah: boterkoek" muncul di bagian paling atas. Jadi mungkin penulisan yang tepat seperti demikian — boterkoek?

DAFTAR ISI

  • Pertemuan Pertama dengan Kue Boterkoek
  • Serba Serbi Kue Boterkoek
  • Membuat Kue Boterkoek Tanpa Mikser Elektrik
  • Resep Kue Botterkoek
  • Kesimpulan

Pertemuan Pertama dengan Kue Boterkoek

Menikmati Nikmatnya Lemak di Kue Boterkoek (Plus Resep Kue Boterkoek)

Waktu awal mengetahui tentang resep boterkoek ini — bertahun-tahun lalu — saya tidak memiliki ketertarikan terhadap kue tersebut.

Membaca sekilas resep-resep yang beredar, entah mengapa secara otomatis saya berpikir bahwa kue ini pasti kering dan bikin seret *sok tau*.

Meskipun harus saya akui, ada beberapa foto yang menggambarkan boterkoek dengan cara yang membuat saya cukup tergiur.

Saya baru benar-benar tertarik dengan si boterkoek ketika menghadiri majelis ilmu khusus muslimah di rumah seorang tetangga. Saat itu, sang tuan rumah menyuguhkan boterkoek untuk kami.

Itulah pertama kalinya saya mencicipi kue bernama boterkoek. Kue ini seperti apa ya menjelaskannya — kering di tekstur, namun terasa lembut-lumer di lidah. Padat, tapi beremah. Beremah, tapi lembut.

Bukan deskripsi yang bagus, saya tahu. Namun begitulah yang saya rasakan. Sungguh pengalaman rasa yang menyenangkan dalam menikmati lemaknya elemen lemak, yang mana dalam hal ini lemaknya berupa margarin. Cuma pakai margarin saja sudah terasa luar biasa, apalagi kalau pakai mentega, mungkin ya.

Satu potong kue boterkoek seukuran kotak kecil saja sudah tercium aroma harum khas margarin dan khas bolu.

Memegang satu potong kue ini hanya dengan dua atau tiga jari tangan pun tetap terasa kelembutannya di jari.

Setelah gigitan pertama, aroma margarin berpindah ke lidah, disertai manis bercampur gurih. Mengunyah kue boterkoek ini serasa sedang dimanjakan dengan kemewahan, efek dari kelembutan teksturnya, ditambah sensasi lumer dari ‘badan’ kue yang padat dan beremah.

Lumayan terkejut rasanya begitu mendengar bahwa untuk membuat kue tersebut hanya memerlukan satu butir telur saja!

Padahal alam bawah sadar saya sempat meyakini bahwa kue-kue yang bertekstur lembut sudah pasti memerlukan banyak telur ke dalam daftar bahannya. Minimal empat atau lima telur, mungkin?

Menikmati Nikmatnya Lemak di Kue Boterkoek (Plus Resep Kue Boterkoek)

Berbeda dengan saat pertama mengenal kue ini hanya lewat membaca resepnya sekilas dan hanya dengan melihat foto-fotonya, begitu mencoba mencicipinya langsung justru saya langsung merasa jatuh hati pada kue boterkoek. 

Makanya, begitu ibu-ibu tetangga lainnya sesama peserta majelis ilmu pada berebutan meminta resep, saya pun hampir tanpa sadar ikut meminta juga.

Mbak tuan rumah ini bercerita bahwa beliau menemukan resep tersebut via Facebook, yang akhirnya gambar tangkapan layar (screenshot)-nya saya simpan dengan awer di dalam memori ponsel saya, sebelum akhirnya saya catat secara manual di buku catatan resep saya.

Saya tidak ingat lagi sudah berapa kali saya membuat boterkoek dengan resep tersebut, walaupun tidak pernah mengikuti sama persis seperti resepnya, karena harus menyesuaikan dengan bahan-bahan yang tersedia di dapur saya.

Serba Serbi Kue Boterkoek

Yuharrani Aisyah, dalam tulisannya di Kompas.com yang berjudul "Resep Lekker Holland, Kue Butter Khas Belanda" (12 Februari 2021), menyebutkan bahwa lekker holland atau dutch butter cake (boterkoek) adalah sebutan untuk kue mentega khas Belanda.

Ia juga menyebutkan bagaimana begitu simpelnya resep kue boterkoek, karena hanya butuh 4 bahan utama yang umum digunakan untuk membuat kue bolu, yaitu mentega, tepung terigu protein sedang, gula, dan telur.

Sementara itu, Lianny Hendrawati dalam satu artikel di blog kulinernya, LiannyHendrawati.com, yang berjudul "Nikmatnya Rasa Lekker Holland (Boterkoek)" (29 Oktober 2016) memaparkan ciri khas kue tersebut yang berwarna kuning keemasan dengan motif garis-garis pada bagian atasnya. Namun, kue aslinya disajikan polos tanpa topping dan biasa disantap dengan cara dipotong kecil-kecil.

Membuat Kue Boterkoek Tanpa Mikser Elektrik

Menikmati Nikmatnya Lemak di Kue Boterkoek (Plus Resep Kue Boterkoek)

Berhubung besi pengocok kue untuk mikser saya sudah 'purnatugas' alias pensiun, saya harus mengocok adonan boterkoek buatan saya menggunakan pengocok telur manual (whisk). Saat digunakan untuk mengocok margarin dan gula pasir, tentunya membutuhkan waktu lumayan lama hingga tercapai tekstur adonan yang lembut dan hingga warna adonannya memutih.

Karenanya, setiap membuat kue ini, saya hanya mengocok adonannya semampu tenaga tangan saya saja — tidak sampai lembut-lembut amat seperti bila memakai mikser elektrik, tapi pokoknya masih terlihat dan terasa cukup lembut untuk melanjutkan ke tahap pembuatan berikutnya.

Hasil akhir kuenya, meski adonan hanya dikocok secara manual, bagi saya tetap lembut dan lumer di lidah dengan sensasi gurih margarin yang khas paling mendominasi di setiap gigitan dan kunyahan.

Resep Kue Botterkoek

Menikmati Nikmatnya Lemak di Kue Boterkoek (Plus Resep Kue Boterkoek)

Sumber resep: Tetangga saya, yang dia dapatkan dari Facebook

Diadaptasi oleh: Diar Adhihafsari (bahan dan cara membuat ditulis sesuai dengan penyesuaian resep yang sudah saya lakukan)

Bahan-bahan:

  • 200 gr margarin
  • 50 gr gula pasir
  • 1 btr telur
  • 220 gr tepung terigu serbaguna
  • 25 gr susu bubuk

Catatan:

Bila suka, susu bubuk bisa diganti dengan sedikit kopi bubuk untuk menjadikan kue ini sebagai boterkoek rasa kopi. Sedikit saja, hanya sampai tampak titik-titik butiran kopi bubuk tersebar di adonan. Bila terlalu banyak, kue akan terasa pahit.

Pugasan (topping), sesuai selera:

Keju cheddar parut atau meises

Cara membuat:

  1. Panaskan oven (suhu di resep asli 170° C). Saya menggunakan oven tangkring dengan termometer oven tambahan.
  2. Siapkan loyang persegi ukuran 20 x 20 x 4 cm (di resep asli menggunakan loyang persegi 22 cm), olesi tipis-tipis sisi-sisi bagian dalam loyang dengan margarin. Bisa juga tambahkan baking paper atau kertas roti di dasar loyang dan dioles tipis margarin.
  3. Dalam wadah besar, campur margarin, gula pasir, dan telur. Aduk menggunakan pengocok manual (whisk) hingga lembut (menggunakan mikser elektrik tentunya lebih mudah dan cepat).
  4. Masukkan tepung terigu dan susu bubuk, aduk rata menggunakan spatula. Tekstur adonan akan terlihat dan terasa agak kental serta berat.
  5. Tuang adonan ke dalam loyang, ratakan, taburi topping (di resep aslinya, permukaan adonan diolesi kuning telur, kemudian dikerat dengan garpu, baru ditaburi topping).
  6. Panggang hingga kue matang, menyesuaikan dengan oven masing-masing (di resep asli selama sekitar 30 menit).
  7. Setelah kue berada di suhu ruang, potong kotak-kotak kecil (setiap membuat kue ini, saya tidak pernah mengeluarkan kue dari loyang dan memindahkannya ke piring saji, melainkan langsung memotong-motongnya saja di dalam loyang).

Kesimpulan

Itulah serba serbi beserta resep kue boterkoek yang merupakan bolu mentega khas Belanda yang harum, manis, gurih, lembut, dan lumer. Bahan-bahannya tidak banyak dan mudah didapatkan, juga mudah disesuaikan dengan yang ada di dapur kita. Bahkan kue ini juga tetap bisa dibuat meski tanpa mikser elektrik! Selamat mencoba!

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

MENJADI SEORANG FOODIE atau pencinta makanan di era media sosial sekarang bukan lagi sekadar untuk melampiaskan kesukaan masak dan/atau makan. Juga bukan lagi sekadar memanfaatkan kesempatan untuk mencoba-coba beragam jenis makanan.

"The chest with the chill in it”, White Mountain Refrigerators
Gambar: "The chest with the chill in it”, White Mountain Refrigerators, 1870–1900, public domain image (Digital Commonwealth, via RawPixel)

Kini malahan ‘titel’ sebagai seorang foodie bisa menjadi karir tersendiri, entah dengan menjadi food blogger atau food vlogger atau food reviewer atau food storyteller atau apa pun namanya.

Bagi seorang food enthusiast, tekstur dan aroma suatu makanan saja sudah cukup memanjakan. Bahkan hanya membicarakan tentang makanan pun sudah bisa bikin 'klepek-klepek' *agak lebay sedikit*. 

Namun adakah tempat bagi penggemar makanan atau foodie dalam Islam?

Selama ini saya banyak membaca, tak hanya dari artikel-artikel kesehatan, namun juga bagaimana Al-Qur’an dan hadis menyebut-nyebut makanan dari sisi yang 'tidak enak,' misalnya bahwa makanan yang kita masukkan ke dalam mulut dan perut merupakan sumber berbagai macam penyakit. 

Bahkan agar sehat, kita justru dianjurkan untuk mengurangi makan (atau untuk berpuasa) dan mengurangi tidur.

Imam Ahmad bin Hambal pernah menyebutkan pula bahwa manusia lebih membutuhkan ilmu agama ketimbang membutuhkan roti dan air minum (makanan), karena ilmu agama dibutuhkan setiap waktu, sementara makanan hanya dibutuhkan sekali atau dua kali saja setiap harinya (Muslim.or.id).

Jadi, seperti apa sebenarnya Islam memandang orang-orang yang menggemari makanan atau foodie?

Boleh Makan Apa Saja, Asalkan Tidak Berlebihan

"Rustic Feast Setting", Stockcake
Foto: “Rustic Feast Setting”, public domain, AI generated, via Stockcake

Saking penasarannya, dahulu saya pernah menanyakan perihal tersebut pada dua orang berilmu tentang bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap para penggemar makanan:

Pertama, pada Mbak Umi Fatonah, pemateri di kelompok pengajian saya.

Kedua, pada Ustaz Mubarak A. Rahim via pesan singkat dalam sebuah program di Mujahidin Madani TV (M2TV) Pontianak.

Keduanya memberi penekanan pada satu hal yang sama: silakan makan, silakan minum, asal jangan berlebihan.

Menurut Mbak Umi Fatonah dari kelompok pengajian saya, ayat di bawah ini mengisyaratkan perlunya kita menyederhanakan hidangan yang kita konsumsi:

“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak Menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A'raf, 7: 31)

Bahkan sebagian salaf mengatakan, "Allah swt mengklasifikasikan seluruh ilmu kedokteran hanya dalam setengah ayat," dan merujuk pada ayat tersebut di atas (dalam Tafsir Ibnu Katsir 2/210), untuk menunjukkan betapa kesehatan bisa didapatkan 'sesederhana' melalui mengurangi makan atau makan dengan tidak berlebihan.

Serupa dengan Mbak Umi Fatonah, Ustaz Mubarak A. Rahim juga menegaskan bahwa kita boleh makan apa saja, boleh minum apa saja, dan boleh masak apa saja, asalkan tidak berlebih-lebihan, karena Allah tidaklah menyukai orang yang berlebih-lebihan.

Menurut Ustaz Mubarak, berlebih-lebihan itu artinya melampaui batas kewajaran, hingga mengakibatkan penyakit, menyebabkan kemubaziran, menimbulkan rasa malas untuk beribadah, dan sebagainya.

Boleh Makan Apa Saja, Asalkan Halal dan Tayib

“Eat Good Food”, Stephanie Kraus
Foto: “Eat Good Food”, Stephanie Kraus, via Wikimedia Commons, dengan Creative Commons Attribution 2.0 Generic License

Makan penting untuk hidup. Lebih dari itu, memilih makanan yang halal dan tayib (baik) juga sama pentingnya untuk menjalani hidup sebagai seorang muslim. 

Belajar dan mengingat lagi tentang halal dan tayib pun tak kalah penting bagi keseharian kita, karena hakikatnya kita sebagai manusia harus selalu diingatkan.

Sebagai tambahan spesifik, Ustaz Mubarak A. Rahim menjelaskan bahwa kita boleh makan apa saja, boleh minum apa saja, juga boleh masak apa saja, asalkan semuanya halal dan baik.

Dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 168 menyebutkan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk makan makanan yang halal dan tayib.

"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu." (QS Al-Baqarah, 2: 168)

Dalam surat yang sama, pada ayat 57 dan 60, manusia dibenarkan untuk hanya memakan makanan yang baik yang telah dianugerahkan Tuhan dengan tidak melakukan kerusakan di bumi.

"Dan Kami Menaungi kamu dengan awan, dan Kami Menurunkan kepadamu mann [ket: sejenis madu] dan salwa [ket: sejenis burung puyuh]. Makanlah (makanan) yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami Berikan kepadamu. ..." (QS Al-Baqarah, 2: 57)

"... Makan dan minumlah dari rezeki (yang Diberikan) Allah, dan janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan." (QS Al-Baqarah, 2: 60)

Secara bahasa sederhana, bagaimanakah 'bentuk' halal dan tayib itu?

Berikut saya ringkas pengertian halal dan tayib seperti dijelaskan oleh Ismail Thaib, anggota Majlis Tarjih PP Muhammadiyah (2002):

Halal:

  • Lepas, tidak terikat ➡️ terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi
  • Boleh ➡️ dibolehkan oleh agama Islam

Thayyib:

  • Yang lezat
  • Yang sehat
  • Tidak kotor dari segi zatnya
  • Tidak rusak atau kedaluwarsa
  • Tidak dicampuri benda najis

Masalah halal dan tayib tak hanya berhenti di makanan bersangkutan, namun bahkan diawali dari proses membuat dan/atau memperolehnya, sampai akhirnya berlanjut pada pengaruhnya terhadap kesehatan dan keberkahan diri si konsumen. Intinya, menentukan suatu makanan itu halal dan tayib sungguh menyentuh banyak sisi.

Halal dan baik juga, tambah Ustaz Mubarak A. Rahim, adalah yang mendatangkan kekuatan atau energi bagi kita untuk menjalankan ketaatan kepada Allah.

Kesimpulan

Menjadi seorang foodie atau pencinta/penggemar kuliner sah-sah saja dalam pandangan Islam, insyaallah, selama makanan kita bersumber dari yang halal lagi baik, serta kita nikmati dengan proporsi yang secukupnya alias tidak berlebihan.

Mengingat kita tidak harus mengalami zaman berburu dan meramu seperti di era prasejarah dulu, betapa bersyukurnya kita dikelilingi banyak makanan yang kaya bentuk, tekstur, aroma, dan rasa (meskipun seumur hidup baru sebagian kecil saja yang sudah saya pribadi cicipi, dan sisanya hanya bisa saya nikmati lewat membaca, mendengar, dan mengamati).

Maka sudah sepatutnya rasa syukur tersebut kita barengi dengan kemauan yang konsisten untuk selalu berpihak pada yang halal dan tayib. Semoga Allah selalu memudahkan kita dalam mewujudkan hal tersebut.

Referensi:

  • Hilman Latief, "Makanan dan Spiritualitas: Telaah terhadap Wacana dan Tradisi Agama-agama" dalam TARJIH Edisi 4, Juli 2002 (PDF)
  • Ismail Thaib, "Pandangan Islam Terhadap Makanan" dalam TARJIH Edisi 4, Juli 2002 (PDF)
  • Mubarak A. Rahim, "Pelanggaran Terhadap Hari Raya" dalam program Majelis Ilmu, Mujahidin Madani TV (M2TV) Pontianak, 29 Juni 2016
  • muslim.or.id (infografis)
  • Tree Grower Community - Himpunan Profesi Mahasiswa Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), "Makan dan Minum Jangan Berlebihan" (20 Juni 2010)
  • Umi Fatonah, "Berpisah dengan Ramadhan", dalam Majelis Taklim Mar'atussholihah, Masjid Nurul Ikhwan, Kabupaten Kubu Raya (25 Juni 2016)

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

CREATIVE MORNINGS VIRTUAL FIELDTRIPS merupakan aktivitas kreatif daring (online) yang mulai saya kenal dan ikut berpartisipasi sebagai peserta sejak akhir Februari 2023. Dua tahun kemudian, sekarang, terhitung saya telah mengikuti 52 Virtual FieldTrips, yang sebagian besarnya terkait aktivitas menulis.

Lukisan “Art Students” karya Louis Lang
Gambar: “Art Students” karya Louis Lang, sekitar 1871, Metropolitan Museum of Art (public domain)

Termasuk salah satunya, yang hingga kini masih menjadi favorit saya, yaitu Virtual FieldTrip berupa lokakarya (workshop) di akhir Juni 2023 berjudul “Reverie: An Embodied Slow Looking and Poetry Experience”.

Dalam waktu sekitar satu setengah jam via pertemuan Zoom, peserta dari berbagai negara mengikuti dua jenis workshop yang dijadikan satu: mengamati lukisan dan menulis puisi.

Mengamati Lukisan dengan Slow Looking

Pertama, host Annie Yi dari National Gallery of Art menunjukkan kepada peserta sebuah lukisan tahun 2019 berjudul “A Sunburst Restrained” karya Maria Berrio, seorang seniman visual perempuan asal Kolombia yang bekerja di Brooklyn, New York. Lukisan ini dipilih untuk mewakili tema reverie (lamunan, angan-angan) dalam Virtual FieldTrip ini.

Lukisan Maria Berrio, “A Sunburst Restrained”
Foto: Lukisan Maria Berrio, “A Sunburst Restrained” (2019) di National Gallery of Art, Washington, D.C., November 2023, via Instagram @katrinalee_84

Kami, para peserta Virtual FieldTrip, diminta untuk mengamati lukisan tersebut di atas. Kami juga diajak untuk membiarkan pengamatan kami mengembara secara bebas.

Dengan bantuan Annie, kami akhirnya menyadari bahwa ternyata Maria Berrio membuat “A Sunburst Restrained” menggunakan kertas khusus dari Jepang yang dijadikan collage. Collage itu juga dipadukan dengan kanvas yang dilukis memakai watercolor.

Saat foto lukisannya diperbesar, kami dapat melihat collage yang diwarnai dengan watercolor membentuk dua perempuan yang ada di dalam lukisan. Keduanya berbaring di alas pink dengan latar sejenis ubin. Di depan mereka tampak bagian dari pohon lemon yang terdiri atas ranting, daun, dan buahnya.

Annie kemudian mengungkapkan pula bagaimana Maria Berrio membuat lukisan tersebut karena terinspirasi oleh puisi “Ode to the Lemon” karya penyair terkenal asal Chile, Pablo Neruda.

Bagian akhir dari “Ode to the Lemon” merupakan bagian kesukaan kami — Annie dan para peserta, semata karena pilihan diksi yang terjalin indah dan tak terpikirkan oleh kami:

So, when you hold

the hemisphere

of a cut lemon

above your plate,

you spill

a universe of gold,

a

yellow goblet

of miracles,

a fragrant nipple

of the earth's breast,

a ray of light that was made fruit,

the minute fire of a planet.

Dipandu oleh Annie yang salah satu pekerjaannya di National Gallery of Art adalah memandu tur di sana, peserta Virtual FieldTrip diajak memahami makna di balik lukisan “A Sunburst Restrained”, termasuk benang merahnya dengan puisi “Ode to the Lemon”.

Meski sedikit banyaknya menyukai seni dalam beragam bentuknya, jujur saya merasa tidak mudah untuk memahami seni dan makna yang menyertainya. Namun, Annie mampu membuat proses memahami seni tersebut terasa menyenangkan.

Takeaway yang bisa saya tarik (dan catat) dari panduan Annie Yi untuk memahami karya seni, kurang lebihnya begini:

“As close as you want, you have the freedom to look at a piece of art, for each one of us has a different point of view and different definition on art.”

Menulis Puisi Berdasarkan Pengamatan Akan Karya Seni

Christine Bissonnette, yang seorang penyair sekaligus pengajar puisi, hadir dalam Virtual FieldTrip ini untuk membersamai kami di bagian akhir workshop untuk menulis puisi.

Sebelumnya, kami diminta untuk terlebih dahulu menulis bebas (free writing) dengan prompt tulisan terkait apa yang sudah kami dapatkan di sesi awal workshop ini.

Saya sudah tidak ingat lagi apa saja prompt tulisannya, akan tetapi saya masih menyimpan hasil free writing saya yang hanya terdiri dari tiga paragraf singkat ini — yang sepertinya berupa interpretasi pribadi saya terhadap lukisan “A Sunburst Restrained”:

These two women relax and enjoy themselves in their own garden. As summer is already welcomed, they can smell the shine of the sun, and they can even hear the summer wind approaching their garden, touching their precious bright lemon trees.

Isn’t summer just the best time to escape and to just breathe?

The heat of summer, somehow, makes those women — or us, for that matter — stronger. Heat, high temp, scorching wind. Simple things, yet those make you feel the strongest than in other seasons.

Setelah sesi free writing usai, barulah para peserta diberikan waktu sekitar 15 menit untuk menulis puisi sesuai imajinasi maupun pengamatan kami akan karya seni visual Maria Berrio dan puisi Pablo Neruda di awal.

Mengamati Lukisan dan Menulis Puisi: Sebuah Workshop dari Creative Mornings

Menulis bukan hal yang mudah, apalagi menulis puisi. Dan dalam waktu hanya 15 menit pula! Namun saya bangga karena berhasil menuliskan sebuah puisi sederhana berdasarkan pengamatan akan karya seni yang saya pelajari di dalam workshop ini.

APPRECIATING THE HUES

by Diar Adhihafsari


Today I found out

about a poem

by Pablo Neruda,

“Ode to a Lemon”


So simple

yet so orchestral

An ode, that is

And to a lemon


The yellow hues

for Neruda’s lemony poem

The hues

I get to appreciate now


To why he used the words

“A yellow goblet of miracles”

still amazes me

for my mind is blown


That hues are magical,

whatever the colors involved

That words are miraculous,

that an instant poem I could

write just now

Kesimpulan

Menikmati karya seni, atau bahkan membuat karya seni, bukan hanya untuk mereka yang ‘nyeni’ murni. Kita, yang ‘orang biasa’, juga sah-sah saja mengamati dan menginterpretasi karya seni dengan imajinasi dan sudut pandang kita sendiri.

Kita juga bahkan bisa menginterpretasikan cara kita memandang karya seni melalui karya seni lainnya gubahan kita sendiri, seperti yang saya lakukan lewat Virtual FieldTrip “Reverie” dari Creative Mornings yang saya ikuti.

Bagi yang tertarik juga mengikuti Virtual FieldTrips dari Creative Mornings, kamu bisa mendaftarkan diri di situs Creative Mornings dan mulai mencari judul-judul Virtual FieldTrips yang menarik bagimu.

Pilih satu (atau semua!) Virtual FieldTrip yang kamu mau, baik itu berupa webinar maupun workshop. Pastikan untuk cek waktu pelaksanaannya (karena FieldTrip dilangsungkan di waktu sesuai negara host-nya — seringnya Amerika Serikat — yang di Indonesia kadang tengah malam atau dini hari, walau banyak juga yang pagi atau malam hari) serta cek apa yang harus disiapkan (bila ada).

Selanjutnya, tinggal hadir sesuai waktu pelaksanaan via Zoom, dan selamat menikmati!

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

HALO!

Selamat datang di blog diarhafsari.com! Nama saya Diar dan di blog ini saya menulis seputar membaca, menulis, dan menikmati cita rasa. Selamat menikmati!

SAYA JUGA ADA DI SINI

  • instagram
  • spotify
  • pinterest

TOPIK

  • Blogging
  • Buku dan Kuliner
  • Membaca
  • Menikmati Cita Rasa
  • Menulis
  • Podcast Sepiring Narasi Rasa

Created with by ThemeXpose