3 Novel Karya Penulis Perempuan Asal Asia Timur

DALAM TULISAN INI, saya ingin berbagi insight pribadi saya setelah membaca tiga buku fiksi berupa novel karya penulis perempuan asal/keturunan Asia Timur. Tiga buku tersebut ditulis oleh penulis asal Jepang, Taiwan, dan Tiongkok.

Gambar: Kartu iklan “Drink O. & O. tea!” (1879 -– 1900) – Oriental & Occidental Tea Company, Limited (Boston Public Library via Wikimedia Commons, dengan Creative Commons License)

DAFTAR ISI:

  • Sekilas gambaran karakteristik kesusastraan Asia Timur
  • 3 Novel Karya Penulis Perempuan Asal Asia Timur
  • Kesimpulan

Karakteristik Kesusastraan Asia Timur

Menurut ensiklopedia Britannica, kawasan Asia Timur — yang juga dikenal dengan istilah Timur Jauh — terdiri dari enam negara berikut: Jepang, Korea Utara, Korea Selatan, Tiongkok, Mongolia, dan Taiwan. Sementara itu, menurut organisasi independen, Asia Society, dua negara lainnya juga termasuk ke dalam wilayah Asia Timur, yaitu Hong Kong dan Macau.

Kesusastraan Asia Timur, terutama Tiongkok, Jepang, dan Korea, dikenal merefleksikan nilai-nilai sosial, mengeksplorasi tradisi dan modernitas, dan bergulat dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang membentuk ingatan kolektif dan identitas budaya (LibraryFiveable, 2024).

Karakteristik tersebut juga kurang lebihnya akan kita temui di tiga novel karya penulis perempuan asal Asia Timur di bawah ini. Termasuk di dalam karakteristik itu adalah bagaimana penulis perempuan dari Asia Timur bersuara bagi mereka — para perempuan Asia Timur lainnya — yang terpinggirkan dan tidak terwakili suaranya (Books & Bao, 2024).

3 Novel Karya Penulis Perempuan Asal Asia Timur

1. Strange Weather in Tokyo (Hiromi Kawakami) (Jepang)

Novel "Strange Weather in Tokyo" karya Hiromi Kawakami dari Jepang

Novel kontemporer ini pertama kali terbit pada tahun 2001. Saya sendiri membaca versi 2017 yang diterbitkan oleh Counterpoint yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Allison Markin Powell.

Terdiri dari 179 halaman serta ditulis dengan bahasa dan alur cerita yang ringan, Strange Weather in Tokyo menghadirkan slice of life dari Tsukiko, seorang perempuan di usia akhir 30-an.

Termasuk pula di dalamnya kisah cintanya yang tak biasa — namun manis dan lucu — dengan mantan guru bahasa Jepangnya di SMA yang sudah berusia sekitar 70 tahun, Harutsuna Matsumoto, atau yang hanya dipanggilnya dengan Sensei.

Meski tak banyak dibahas, kedekatan di antara mereka dengan perbedaan usia yang jauh ini sempat digambarkan penulisnya membuat sejumlah orang di sekitar mereka membuat beragam asumsi dan prasangka, baik positif maupun negatif.

Selain dibangun dengan narasi sudut pandang pertama yang reflektif dan memunculkan perasaan terhubung bagi pembaca usia dewasa, novel yang menyentuh tema kesendirian secara ringan ini juga dibangun dengan banyak percakapan antara Tsukiko dan Sensei.

Meski sekilas terlihat sebagai percakapan biasa, namun saya pribadi sebagai pembaca menemukan bahwa dialog-dialog di antara mereka selalu bermuara ke sesuatu yang membuat dua tokoh itu lebih memahami satu sama lain. Selingan kalimat dan gestur yang berisi kesalahpahaman di antara mereka, uniknya, turut membantu pencapaian pemahaman di antara keduanya.

"Would you consider a relationship with me, based on a premise of love?" (Sensei)

2. The Butcher's Wife and Other Stories (Li Ang) (Taiwan)

Antologi "The Butcher’s Wife and Other Stories" oleh Li Ang dari Taiwan;

Buku kumpulan enam cerita pendek ini terbit perdana di tahun 1983. Versi bahasa Inggrisnya disunting dan diterjemahkan oleh Howard Goldblatt, kemudian dipublikasikan pada 1995.

“The Butcher’s Wife” menjadi cerita pendek yang paling panjang di dalamnya (atau disebut novel pendek) di dalam antologi 244 halaman ini. Ia berkisah tentang Lin Shi, gadis usia 20-an dengan masa kecil menyedihkan, yang dinikahkan paksa dengan Chen Jiangshui, seorang tukang jagal babi berusia 40-an. Ini terjadi di sebuah kota kecil tepi laut di selatan Taiwan, di era jauh sebelum 1980.

Hidup dengan suami patriarki dan di lingkungan masyarakat patriarki, Lin Shi harus menghadapi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari suaminya. Bahkan tetangganya yang awalnya peduli padanya, pada akhirnya berbalik memusuhinya.

Di bagian pengantar buku ini, sang penulis menceritakan sebuah berita lama yang terjadi sebelum tahun 1950 yang kemudian menginspirasinya untuk menulis “The Butcher’s Wife”.

Berita tersebut melaporkan tentang seorang suami pelaku KDRT di Beijing, Tiongkok, yang dibunuh oleh istrinya yang masih muda sebagai bentuk perlawanan. Akan tetapi, alasan perempuan tersebut tidak dipercayai oleh pihak pengadilan dan masyarakat, karena kala itu masih umum adanya anggapan bahwa bila suami dibunuh oleh istri, itu berarti si istri memiliki hubungan terlarang dengan pria lain.

Dari situ sudah bisa ditebak ya, bagaimana akhir cerita antara Lin Shi dan suaminya yang tukang jagal babi. Juga bisa dilihat bagaimana Li Ang, penulis antologi ini, mencoba menunjukkan wujud patriarki di masa itu dan dampaknya terhadap kehidupan seorang perempuan seperti Lin Shi.

Peringatan: cerita ini mengandung konten eksplisit, termasuk gambaran KDRT fisik dan seksual yang brutal sekaligus terasa disturbing.

"So what if he's sort of rough and crude. After all, what do you expect from a butcher? As women, we're supposed to be tolerant and put our husbands above everything else." (Auntie Ah-wang, tetangga Lin Shi)

3. Miss Chopsticks (Xinran) (Tiongkok)

Novel "Miss Chopsticks" karya Xinran dari Tiongkok

Novel sepanjang 261 halaman ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Esther Tyldesley. Diterbitkan tahun 2007, Miss Chopsticks juga terinspirasi dari kisah nyata di Tiongkok yang ada sangkut-pautnya dengan isu patriarki pula.

Sang penulis mendasarkan tiga tokoh kakak-beradik di dalam novelnya — Three, Five, dan Six — pada tiga gadis pekerja asal sebuah desa di wilayah Anhui yang pernah diwawancarainya untuk program radionya.

Betapa terkejutnya Xinran ketika juga mewawancarai seorang pria di sana, yang mengatakan bahwa di desa itu perempuan dianggap sebagai sumpit yang tidak bisa apa-apa dan tidak menjadi apa-apa dalam sebuah keluarga.

Sementara laki-laki dianggap sebagai atap bagi keluarga, yang notabene adalah segalanya bagi sebuah keluarga, khususnya secara finansial. Karenanya, para orang tua di sana akan menjadi malu dan merasa gagal apabila tidak mampu memiliki anak lelaki. 

Three, Five, dan Six di dalam novel yang juga diceritakan berasal dari Anhui, tidak memiliki nama layak seperti anak-anak lain seperti umumnya. Ayah mereka terlalu malu akibat tidak memiliki anak laki-laki, sehingga hanya memberikan nama sesuai urutan lahir mereka.

Sesuai tradisi, anak-anak perempuan di desa mereka pada akhirnya akan dinikahkan paksa sejak usia muda, daripada tidak memberi ‘keuntungan’ apa pun dalam keluarga.

Syukurlah paman ketiga bersaudara itu — yang menurut warga desa bernasib lebih ‘buruk’ dari ayah Three, Five, dan Six, yaitu tidak mampu memiliki keturunan — mengajak mereka mencari kesempatan bekerja di kota Nanjing, ketimbang dinikahkan paksa.

Berlatar tahun 2001, novel ini lebih banyak berfokus menunjukkan perbedaan antara pola pikir orang desa dan pola pikir orang kota melalui sejumlah percakapan Three, Five, dan Six dengan rekan kerja dan/atau pimpinan di tempat masing-masing bekerja maupun melalui observasi serta asumsi mereka sendiri.

Membaca premis gadis muda asal desa yang merantau ke kota untuk mencari pekerjaan awalnya cukup membuat ‘waswas’ bahwa tiga bersaudara dalam novel ini akan ‘kenapa-kenapa’. Tapi novel ini tidak memasukkan unsur klise itu.

Masing-masing dari tiga bersaudara itu bekerja sebagai seorang pelayan di sebuah rumah makan, sebagai asisten di sebuah klinik terapi kecantikan, dan sebagai pelayan di sebuah kedai teh sekaligus perpustakaan. Dengan bekerja dan berpenghasilan, mereka berhasil menjadi ‘atap’ bagi keluarga mereka.

Ketiganya beruntung bertemu dengan orang-orang baik di perantauan mereka, yang sayangnya membuat konflik-konflik yang mereka hadapi terasa agak kurang greget. Terlepas dari itu, novel ini tetap layak dibaca demi khazanah isu sosial yang berdasarkan kisah nyata di atas.

She [Five] realised that city women gossiped just as much as country women.

Kesimpulan

Tiga novel karya penulis perempuan asal Asia Timur di atas — Strange Weather in Tokyo oleh Hiromi Kawakami dari Jepang; The Butcher’s Wife and Other Stories oleh Li Ang dari Taiwan; dan Miss Chopsticks oleh Xinran dari Tiongkok — berpusat pada tokoh utama mereka yang semuanya adalah perempuan, dan semuanya berhadapan dengan isu juga nilai-nilai sosial di era dan level beban mereka masing-masing.

Strange Weather in Tokyo tergolong cerita yang paling ringan di antara ketiga novel di atas, dan “The Butcher’s Wife” merupakan novel pendek paling ‘berat’ sekaligus paling ‘graphic’.

Sudah pernahkah kamu membaca tiga novel karya penulis perempuan asal Asia Timur yang dibahas dalam postingan kali ini? Yang mana favoritmu? Jika belum pernah membacanya, mana yang paling membuat kamu tertarik dan penasaran? Yuk, share!

Komentar