Foodie dalam Pandangan Islam
MENJADI SEORANG FOODIE atau pencinta makanan di era media sosial sekarang bukan lagi sekadar untuk melampiaskan kesukaan masak dan/atau makan. Juga bukan lagi sekadar memanfaatkan kesempatan untuk mencoba-coba beragam jenis makanan.
![]() |
Gambar: "The chest with the chill in it”, White Mountain Refrigerators, 1870–1900, public domain image (Digital Commonwealth, via RawPixel) |
Kini malahan ‘titel’ sebagai seorang foodie bisa menjadi karir tersendiri, entah dengan menjadi food blogger atau food vlogger atau food reviewer atau food storyteller atau apa pun namanya.
Bagi seorang food enthusiast, tekstur dan aroma suatu makanan saja sudah cukup memanjakan. Bahkan hanya membicarakan tentang makanan pun sudah bisa bikin 'klepek-klepek' *agak lebay sedikit*.
Namun adakah tempat bagi penggemar makanan atau foodie dalam Islam?
Selama ini saya banyak membaca, tak hanya dari artikel-artikel kesehatan, namun juga bagaimana Al-Qur’an dan hadis menyebut-nyebut makanan dari sisi yang 'tidak enak,' misalnya bahwa makanan yang kita masukkan ke dalam mulut dan perut merupakan sumber berbagai macam penyakit.
Bahkan agar sehat, kita justru dianjurkan untuk mengurangi makan (atau untuk berpuasa) dan mengurangi tidur.
Imam Ahmad bin Hambal pernah menyebutkan pula bahwa manusia lebih membutuhkan ilmu agama ketimbang membutuhkan roti dan air minum (makanan), karena ilmu agama dibutuhkan setiap waktu, sementara makanan hanya dibutuhkan sekali atau dua kali saja setiap harinya (Muslim.or.id).
Jadi, seperti apa sebenarnya Islam memandang orang-orang yang menggemari makanan atau foodie?
Boleh Makan Apa Saja, Asalkan Tidak Berlebihan
![]() |
Foto: “Rustic Feast Setting”, public domain, AI generated, via Stockcake |
Saking penasarannya, dahulu saya pernah menanyakan perihal tersebut pada dua orang berilmu tentang bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap para penggemar makanan:
Pertama, pada Mbak Umi Fatonah, pemateri di kelompok pengajian saya.
Kedua, pada Ustaz Mubarak A. Rahim via pesan singkat dalam sebuah program di Mujahidin Madani TV (M2TV) Pontianak.
Keduanya memberi penekanan pada satu hal yang sama: silakan makan, silakan minum, asal jangan berlebihan.
Menurut Mbak Umi Fatonah dari kelompok pengajian saya, ayat di bawah ini mengisyaratkan perlunya kita menyederhanakan hidangan yang kita konsumsi:
“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak Menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A'raf, 7: 31)
Bahkan sebagian salaf mengatakan, "Allah swt mengklasifikasikan seluruh ilmu kedokteran hanya dalam setengah ayat," dan merujuk pada ayat tersebut di atas (dalam Tafsir Ibnu Katsir 2/210), untuk menunjukkan betapa kesehatan bisa didapatkan 'sesederhana' melalui mengurangi makan atau makan dengan tidak berlebihan.
Serupa dengan Mbak Umi Fatonah, Ustaz Mubarak A. Rahim juga menegaskan bahwa kita boleh makan apa saja, boleh minum apa saja, dan boleh masak apa saja, asalkan tidak berlebih-lebihan, karena Allah tidaklah menyukai orang yang berlebih-lebihan.
Menurut Ustaz Mubarak, berlebih-lebihan itu artinya melampaui batas kewajaran, hingga mengakibatkan penyakit, menyebabkan kemubaziran, menimbulkan rasa malas untuk beribadah, dan sebagainya.
Boleh Makan Apa Saja, Asalkan Halal dan Tayib
![]() |
Foto: “Eat Good Food”, Stephanie Kraus, via Wikimedia Commons, dengan Creative Commons Attribution 2.0 Generic License |
Makan penting untuk hidup. Lebih dari itu, memilih makanan yang halal dan tayib (baik) juga sama pentingnya untuk menjalani hidup sebagai seorang muslim.
Belajar dan mengingat lagi tentang halal dan tayib pun tak kalah penting bagi keseharian kita, karena hakikatnya kita sebagai manusia harus selalu diingatkan.
Sebagai tambahan spesifik, Ustaz Mubarak A. Rahim menjelaskan bahwa kita boleh makan apa saja, boleh minum apa saja, juga boleh masak apa saja, asalkan semuanya halal dan baik.
Dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 168 menyebutkan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk makan makanan yang halal dan tayib.
"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu." (QS Al-Baqarah, 2: 168)
Dalam surat yang sama, pada ayat 57 dan 60, manusia dibenarkan untuk hanya memakan makanan yang baik yang telah dianugerahkan Tuhan dengan tidak melakukan kerusakan di bumi.
"Dan Kami Menaungi kamu dengan awan, dan Kami Menurunkan kepadamu mann [ket: sejenis madu] dan salwa [ket: sejenis burung puyuh]. Makanlah (makanan) yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami Berikan kepadamu. ..." (QS Al-Baqarah, 2: 57)
"... Makan dan minumlah dari rezeki (yang Diberikan) Allah, dan janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan." (QS Al-Baqarah, 2: 60)
Secara bahasa sederhana, bagaimanakah 'bentuk' halal dan tayib itu?
Berikut saya ringkas pengertian halal dan tayib seperti dijelaskan oleh Ismail Thaib, anggota Majlis Tarjih PP Muhammadiyah (2002):
Halal:
- Lepas, tidak terikat ➡️ terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi
- Boleh ➡️ dibolehkan oleh agama Islam
Thayyib:
- Yang lezat
- Yang sehat
- Tidak kotor dari segi zatnya
- Tidak rusak atau kedaluwarsa
- Tidak dicampuri benda najis
Masalah halal dan tayib tak hanya berhenti di makanan bersangkutan, namun bahkan diawali dari proses membuat dan/atau memperolehnya, sampai akhirnya berlanjut pada pengaruhnya terhadap kesehatan dan keberkahan diri si konsumen. Intinya, menentukan suatu makanan itu halal dan tayib sungguh menyentuh banyak sisi.
Halal dan baik juga, tambah Ustaz Mubarak A. Rahim, adalah yang mendatangkan kekuatan atau energi bagi kita untuk menjalankan ketaatan kepada Allah.
Kesimpulan
Menjadi seorang foodie atau pencinta/penggemar kuliner sah-sah saja dalam pandangan Islam, insyaallah, selama makanan kita bersumber dari yang halal lagi baik, serta kita nikmati dengan proporsi yang secukupnya alias tidak berlebihan.
Mengingat kita tidak harus mengalami zaman berburu dan meramu seperti di era prasejarah dulu, betapa bersyukurnya kita dikelilingi banyak makanan yang kaya bentuk, tekstur, aroma, dan rasa (meskipun seumur hidup baru sebagian kecil saja yang sudah saya pribadi cicipi, dan sisanya hanya bisa saya nikmati lewat membaca, mendengar, dan mengamati).
Maka sudah sepatutnya rasa syukur tersebut kita barengi dengan kemauan yang konsisten untuk selalu berpihak pada yang halal dan tayib. Semoga Allah selalu memudahkan kita dalam mewujudkan hal tersebut.
Referensi:
- Hilman Latief, "Makanan dan Spiritualitas: Telaah terhadap Wacana dan Tradisi Agama-agama" dalam TARJIH Edisi 4, Juli 2002 (PDF)
- Ismail Thaib, "Pandangan Islam Terhadap Makanan" dalam TARJIH Edisi 4, Juli 2002 (PDF)
- Mubarak A. Rahim, "Pelanggaran Terhadap Hari Raya" dalam program Majelis Ilmu, Mujahidin Madani TV (M2TV) Pontianak, 29 Juni 2016
- muslim.or.id (infografis)
- Tree Grower Community - Himpunan Profesi Mahasiswa Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), "Makan dan Minum Jangan Berlebihan" (20 Juni 2010)
- Umi Fatonah, "Berpisah dengan Ramadhan", dalam Majelis Taklim Mar'atussholihah, Masjid Nurul Ikhwan, Kabupaten Kubu Raya (25 Juni 2016)
Komentar
Posting Komentar